Inilah Biografi dari Seniman Sapto Hudoyo, Happy Reading ^_^
Sapto Hudoyo
Sapto
Hudoyo, Pelukis dan seniman kondang, pemilik galeri di berbagai kota di
Indonesia. Ia pernah menjadi pelukis keluarga kerajaan Malaysia. Desain
interior, patung dan arsitekturnya menjadi langganan konsumen dari dalam dan
luar negeri.
Sapto
Hudoyo lahir tanggal 6 Februari 1925 di
Solo. Nama kecilnya Piek, anak ketujuh dari 18 bersaudara keturunan
KRT dr. Hendronoto. Kepandaiannya melukis sudah terlihat sejak
kecil. Di sekolah ia mendapatkan nilai tinggi untuk mata pelajaran melukis.
Ia pernah mendapatkan juara pertama lomba melukis antar-sekolah se-kota Solo.
Pada tahun 1945 Piek yang ketika itu duduk di sekolah lanjutan,
bergabung dengan Tentara Pelajar (TP). Pada usianya yang ke-20 ia turut
bertempur bersama Bung Tomo di Surabaya dan juga pernah
berperang di front Ambarawa.
Semasa Perang masih berlangsung, Piek jatuh cinta pada Tuti, gadis belia
adik mantan menteri penerangan RI Maladi. Sayang, si gadis tak berumur
panjang, wafat lantaran sakit. Masih memendam rasa kecewa dan frustasi,
Piek berkelana mencari pengalaman ke luar negeri. Negara tujuan
pertamanya adalah Singapura.
Sebelum hijrah ke Singapura Piek telah menyelesaikan pendidikan
SMA, dan telah memiliki pengalaman sebagai fotografer dan teknikus bidang
mesin dan elektro. Ia sempat pula memiliki ijasah Akademi Penerbangan.
Pada tahun 1947 Piek bertekad mati-matian pergi ke Singapura melalui
Tegal hanya dengan membawa bekal uang Rp 2000. Dari Solo ia berjalan kaki
ke Tegal. Pengalaman pergi jauh seperti ini pernah ia dapatkan sewaktu
kecil. Ia pernah bersepeda mini sampai ke pulau Bali bersama
teman-temannya. Sesampai di Tegal Piek hanya mendapati sebuah kapal
tongkang milik pedagang Cina yang sedang mengangkut telor, cabe, bebek dan
kapuk. Kendati mendapat perlakuan kurang ramah, Piek dipersilakan
menumpang kapal hingga ke Singapura. Syaratnya Piek harus membantu
bekerja di depan, sementara tidurnya berada di belakang dekat WC yang berbau tak
sedap dan banyak kecoanya.
Kondisi seperti ini tidak masalah, hanya yang sungguh membuat ia lemas
tak berdaya adalah pada saat hujan deras dan kapal terombang-ambing oleh
gelombang tinggi. Berkali-kali ia mabuk laut, badannya lemas dan kaki
tangannya sulit digerakkan. Keadaan itu masih diperparah dengan munculnya
gerombolan kecoa yang mengerubuti serta menggigit kakinya hingga
berdarah. Ia hanya bisa menangis dan pasrah kepada Tuhan.
Di Singapura ia tidur di emperan toko. Atas jasa baik seorang
pemilik toko ia diselamatkan dari tangkapan polisi karena dituduh menjadi
gelandangan gelap. Untuk bertahan hidup Piek berkerja apa saja seperti
menjadi pelayan toko Bombay, tukang angkut ember berisi kotoran manusia untuk
pupuk dan pernah menjadi supir taksi. Di antara kesibukannya itu Piek masih
menyempatkan diri melukis. Skets lukisannya kian lama kian berbobot,
hingga seorang konsul Inggris di Singapura mengaguminya.
Piek terus melukis. Hingga suatu hari dia mendapatkan kesempatan
melakukan pameran di sebuah ruangan besar konsulat Inggris di Singapura.
Pada tahun 1947 ia mendapatkan hadiah pertama pada suatu exhibition di Malaysia
untuk lukisan cat air dan cat minyak. Berkat prestasinya di bidang seni
lukis inilah Piek mendapatkan kesempatan berkenalan dengan tokoh-tokoh
terkemuka seperti Sutan Sjahrir dan Kusumo Utoyo. Lantas mereka
bersama-sama mendirikan Indonesia Office di Singapura.
Langkah Piek menjadi pelukis tenar terbuka lebar. Kerajaan Malaysia
pernah mempercayakan lukisan keluarga kepadanya. Ia lantas mengadakan
pameran di Penang, dan sempat bertempat tinggal di Sunday Market sebuah
kawasan di negeri jiran itu yang banyak ditinggali orang Jawa. Di tempat
ini Piek mendirikan kelompok musik “Tiga Teruna” yang dipimpinnya
sendiri. Dalam pergumulan hidup bersama pemusik ini dia pernah mendapat
kesempatan tampil menyanyi bersama Felix Manderson, vokalis tenar asal Hawai.
Pada tahun 1950-1951 Piek pergi ke Negeri Belanda, belajar di Rijks
Academic Amsterdam. Tahun 1952-1953 ia mendapatkan subsidi dari
pemerintah Republik Indonesia untuk belajar di State School of Arts
London. Di tempat ini ia berjumpa dengan Kartika, putri pelukis
legendaris Affandi, keduanya jatuh cinta kemudian melangsungkan
pernikahan. Dari perkawinannya ini Piek mendapatkan delapan orang buah
hati. Sayang, bahtera rumah tangganya kandas di tengah jalan.
Setelah resmi bercerai Piek kembali menikah dengan gadis Purwokerto bernama
Yani. Mereka dikaruniai seorang putra. Bersama Yani Piek mendirikan
galeri seni di kawasan jalan Solo Yogyakarta diberi nama Sapto Hudoyo Art Gallery.
Galeri serupa juga didirikan di beberapa kota seperti Airport Semarang,
Denpasar Bali, Kaliurang dan Sahid Garden Hotel Yogyakarta, serta Pondok Indah
Jakarta Selatan. Galeri seninya memajang lukisan karya Sapto Hudoyo,
batik, dan baju-baju yang memiliki motif kualitas tinggi. Piek juga
menerima order membuat patung perunggu, desain interior dan
arsitektur. Ia yang membuat dekorasi mural pada Stadion Utama
Senayan Jakarta, mural dan desain interior semen Gresik, interior
pada Food Factory di Bandung, mural dan desain interior Hotel Borobudur
Jakarta. Pesanan dari luar negeri datang dari beberapa kota besar
seperti Canes, Hamburg, Frankfurt, Roma, London, Perancis, Denmark, Rio de
Janeiro Brazil.
Saptohudoyo meninggal dunia, Rabu pagi pukul 05.00 WIB di rumah sekaligus
galerinya, Jl. Solo Km 9,8 Desa Maguwoharjo, Depok, Kab. Sleman, D.I.Yogyakarta
dalam usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di makam seniman Giritirto, Imogiri,
Bantul. Sapto Hudoyo meninggalkan dua istri, Kartika Affandi, putri pelukis
besar Affandi dan Yani Saptohudoyo, serta 9 anak dan 3 cucu.
Berikut Foto-foto beliau: